Dalam sejarah Indonesia, gerakan Komunis tidak hanya memanfaatkan kekuatan para pemudanya, namun juga pergerakan perempuan yang menuntut kesetaraan bernama feminisme, yang akhirnya melahirkan simbiosis mutualisme bagi keduanya.

Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam, Arif Wibowo dalam makalahnya Komunisme /Marxisme-Leninisme Pasca Reformasi Indonesia, mencatat berkembangnya komunisme di Indonesia, tidak terlepas dari peran ketiga tokoh muda Central Sarikat Islam (CSI) yang masih berusia di bawah 20 tahun bernama Semaoen, Darsono dan Alimin juga pemuda non CSI, Tan Malaka. Mereka dibina untuk organisasi sosialis di Belanda, Indische Social-Democratische Vereeniging (ISDV), kemudian diminta mempropagandakan komunisme.

Hubungan simbiosis mutualisme ini mulai terlihat saat organisasi feminis marxis yang merupakan cikal bakal dari Gerwani, Isteri Sedar (IS), berdiri pada 22 Maret 1930. Pada awalnya, Isteri Sedar hanya perkumpulan perempuan nasionalis yang berdiri di Bandung.

A.K Pringgodigdo dalam bukunya Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia mencatat, IS berusaha agar anggotanya sadar akan cita-citanya sebagai anak bangsa dan wanita yang sadar agar mereka lebih matang untuk berjuang di lapangan politik bersama kaum laki-laki. Bahkan, mereka sangat senang jika anggotanya masuk partai politik.

Namun pada akhirnya, mereka terpengaruh oleh gerakan perempuan beraliran Marxis bernama Suffragettes yang dimotori Sylvia Pankhurst. Sebagaimana hal ini terlihat pada tulisan S. Pringgodigdo dalam koran mereka, Sedar, edisi Juni-Juli 1931 yang berjudul Kewadjiban dan Pekerdjaan Kaoem Istri Menoeroet Kemaoean Zaman”. Dalam tulisannya, S. Pringgodigdo begitu memuji pergerakan Pankhurst dan menyebut mereka yang tidak suka dengan pergerakan Pakhurst dengan kaum konservatif.

Menariknya, masih pada tahun 1930, terjadi friksi yang cukup tajam antara gerakan perempuan Islam dengan gerakan feminis, terutama oleh IS yang berhaluan komunis. Istri Sedar inilah yang nantinya menjadi cikal bakal Gerwis atau Gerakan Wanita Sedar yang akhirnya setelah 9 tahun Indonesia merdeka berganti nama menjadi Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia. IS merupakan organisasi yang dianggap paling radikal pada saat itu.

Oleh sebab itu, menurut Hikmah Diniah, banyak organisasi perempuan Islam yang tidak senang dengan garis perjuangan yang dilakukan perempuan IS. Pergantian nama IS menjadi Gerwis, tidak mengubah ideologi yang mereka miliki.

Hikmah Diniah mencatat, meskipun Gerwis selalu mengatakan organisasinya merupakan organisasi yang tidak berpihak pada kepentingan agama, komunis, dan organisasi yang tidak memiliki kaitan dengan partai politik manapun, di sini terlihat jelas bahwa pengaruh PKI sangat mendalam dan kuat dalam tubuh Gerwis.

Organisasi feminis sebagai kelanjutan dari IS yaitu Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang pada tahun 1950 berdiri. Adanya Gerwis berawal dari pertemuan di Surabaya antara wakil pengurus pusat dengan Rupindo Semarang, Persatuan Wanita Sedar Bandung dan Persatuan Wanita Sedar Surabaya, pertemuan tersebut mengambil keputusan yang menyatakan kesepakatan adanya fusi antara ketiga organisasi.

Hasil pertemuan tersebut berlanjut dalam kongres di Semarang pada 3-6 Juni 1950 dan menghasilkan pembentukan organisasi baru, yaitu Gerwis, dengan S.K Trimurti sebagai Ketua III. Tujuan Gerwis yaitu ingin menghendaki masyarakat tanpa kelas, masyarakat sosialis Indonesia, walau memang bukan organisasi agama, namun Gerwis menyebutkan tujuan mereka dengan istilah sosialisme religius.

Pada tahun 1951, sebagai hasil keputusan dari Kongres I di Surabaya, Gerwis resmi bergabung dengan Women’s International Democratic Federation (WIDF) yang menurut S.K Trimurti antara Gerwis dan WIDF mempunyai tujuan dan semangat sama.

Menurut Sujatin, yang pada tahun 1946 pernah menjadi Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), federasi tersebut berhaluan komunis. Tidak hanya itu, dalam kongres Gerwis juga mengeluarkan pernyataan mengenai rancangan undang-undang perkawinan, bahwa prinsip perkawinan harus tercantum monogami, karena menurut Gerwis, poligami merupakan praktik feodalisme.

Pengaruh PKI begitu terlihat jelas dalam organisasi ini sejak Kongres pertama mereka, anggota Gerwis yang menurut Amurwani Pro-PKI, ingin mengonsolidasikan pengaruh PKI terhadap pimpinan organisasi, kemudian PKI juga turut berperan dalam menentukan formasi pimpinan Gerwis dengan mencalonkan anggota PKI menjadi ketua Gerwis dalam Kongres I.

Amurwani juga menyebut Gerwis giat dalam front feminis yang melakukan perjuangan dalam hal undang-undang perkawinan. Organisasi perempuan komunis ini juga semakin jelas paham feminisnya sejak mereka mengubah nama menjadi Gerwani pada kongres II tahun 1954. Gerwani memandang bahwa antara kaum wanita dan laki-laki mempunyai hak-hak yang sama. Selain itu, hubungan Gerwani dengan organisasi wanita lain yang berasal dari golongan-golongan agama, disebut Amurwani, kurang harmonis, antara lain Wanita Katolik yang menganggap Gerwani terlalu komunis dan kebijakan-kebijakannya cenderung searah dengan PKI. Kemudian dengan organisasi wanita Islam seperti Aisyiyah juga demikian, adanya perbedaan antara prinsip Islam dan prinsip komunis, sikap Gerwani yang terlalu kasar dan sering menyebarkan desas-desus tentang Aisyiyah untuk melawan pemerintah menimbulkan jarak di antara kedua organisasi itu.

Kemudian pada tahun 1957, Gerwani menuntut pencabutan undang-undang Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO) yaitu undang-undang pemerintah kolonial tentang pemerintahan Desa. Terkait dengan hal tersebut, Gerwani menuntut kaum perempuan yang terpilih menjadi lurah dapat memangku jabatannya, sebagaimana hal ini diakui oleh seorang anggota Gerwani Kustini, “Saya wanita kan memperjuangkan emansipasi wanita – itu masalah peraturan wanita boleh menjadi lurah.”.

Kemudian saat Soekarno semakin dekat dengan PKI, banyak perkumpulan perempuan maupun tokoh perempuan yang tidak menyetujui pemerintah. Sujatin mencatat, dalam periode 1959 – 1965 terasa pengaruh yang besar dari PKI dengan serikat-serikat kerjanya dan perkumpulan Gerwani dalam pemerintah, maka perkumpulan wanita yang tidak menyetujui jalannya pemerintahan bergabung dalam Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI).

Di sisi lain, komunisme merasa terbantu, ide-ide mereka dapat tersebar melalui gerakan perempuan feminisme, sementara para feminis merasa sangat senang karena komunisme mendukung pembebasan perempuan.

0Komentar

Sebelumnya Selanjutnya